google-site-verification: googled93a9cab977745d2.html TUGAS SEKOLAH FUN

Search This Blog

Tuesday 21 January 2020

MAKALAH HANDLING COMPLAIN


MAKALAH HANDLING COMPLAIN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Perkembangan rumah sakit yang semakin maju membuat pihak manajemen rumah sakit berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu agar tercipta kepuasan pasien. Rumah sakit juga harus bisa memanfaatkan setiap sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pelayanan yang berkualitas serta dapat meminimalisir datangnya keluhan dari pasien terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit. Adanya pergeseran tujuan pelayanan rumah sakit dari organisasi sosial menjadi organisasi sosial ekonomi menuntut pihak manajemen untuk dapat mempertahankan pasiennya agar dapat terus bersaing dengan rumah sakit yang lainnya. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pihak manajemen dalam usaha mempertahankan pelanggan agar dapat terus bertahan dan tidak tenggelam dalam persaingan. Oleh karena itu diperlukan suatu penanganan terhadap komplain dari pelanggan.


1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu komplain/keluhan?
1.2.2 Bagaimana penyebab penanganan komplain?
1.2.3 Apa saja jenis-jenis komplain serta SOP dalam penanganan komplain?
1.2.4 Bagaimana monitoring dan evaluasi manajemen komplain?
1.2.5 Apa saja contoh permasalahan komplain?







1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mendeskripsikan komplin/keluhan pasien serta cara penyelesaian komplain
         yang dapat diterima oleh pelanggan dengan baik.
1.3.2 Tidak hanya menyelesaikan akar permasalahan tapi juga bagaimana cara
         mempertahankan kepercayaan pelanggan.



























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keluhan Pelanggan
Menurut Timothy R.V Foster yang dikutip dari buku "Membangun Usaha Dengan Kekuatan Image" oleh Widodo Mukti (2006, Hal: 84), complaint berarti keluhan atau pengaduan konsumen kepada produsen. Complaint merupakan masukan penting untuk membantu dalam meningkatkan kepuasan pelanggan. Namun banyak orang yang tidak mau mengeluh. Praktisi public relations seharusnya mengetahui apa dan bagaimana dalam menangani keluhan dan complaint yang mungkin akan muncul dari pihak pelanggan. Complaint itu sendiri bisa bersifat destruktif dan bisa juga konstruktif. Bisa mematikan tapi juga bisa menjadi pemicu untuk menjadi lebih baik. Dengan adanya komplain bisa memotivasi karyawan agar bekerja lebih baik lagi. Tinggal bagaimana menyikapi adanya komplain tersebut.
Dengan adanya komplain pelanggan menandakan dua hal yaitu: pertama, dapat berusaha meningkatkan layanan berdasarkan informasi komplain tersebut. Kedua, pelanggan cukup peduli dengan layanan yang diberikan, dan menginginkan untuk diperbaiki oleh perusahaan tersebut. Tujuan utama dari penanganan komplain bukanlah mengatasi akar permasalahan, melainkan juga mempertahankan pelanggan.
Bagi banyak orang, istilah keluhan / komplain atau pengaduan identik dengan sebuah kritik dan ancaman yang menyudutkan. Keluhan atau komplain berasal dari bahasa latin yaitu yang artinya memukul dan ditujukan pada bagian dada seseorang. Dapat diartikan sebagai sebuah penderitaan yang mengganggu dan membuat tidak nyaman. Keluhan / komplain merupakan sebuah harapan yang belum terpenuhi (Barlow & Moller, 1996). Keluhan/komplain pelayanan adalah ekspresi perasaan ketidakpuasan atas standar pelayanan, tindakan atau tiadanya tindakan aparat pelayanan yang berpengaruh kepada para pelanggan. Keluhan pelanggan dalam satu sisi merupakan alat kendali atau evaluasi terhadap pemberian kualitas pelayanan yang selama ini diberikan kepada pelanggan atau masyarakat. Namun pada sisi lain keluhan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan, yang menjadikan keluhan sebagai suatu masalah yang perlu dicari solusinya. Setiap pelanggan memiliki respon yang tidak sama terhadap kondisi yang dihadapi berkaitan dengan layanan yang diterima.

2.2 Penyebab Komplain
Penyebab Terjadinya KeluhanPada dasarnya, pelanggan yang mengeluh karena merasa tidak puas. Soeharto A. Majid (2009: 149) menyebutkan banyak hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti:
      1.            Pelayanan yang diharapkan dari kita tidak seperti yang mereka harapkan.
      2.            Mereka diacuhkan, misalnya dibiarkan menunggu tanpa penjelasan
      3.            Tidak ada yang mau mendengarkan.
      4.            Seseorang berlaku tidak sopan atau tidak membantu terhadap mereka
      5.            Tidak ada yang mau bertanggung jawab untuk suatu kesalahan.
      6.            Ada kegagalan komunikasi, dll

2.3 Jenis-Jenis Komplain
Jenis Keluhan Pelanggan.Keluhan atau komplain merupakan suatu ungkapan ketidakpuasan dari pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Jenis-jenis keluhan yang datang dari pelanggan yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain: Tjiptono (2005), membedakan keluhan atau komplain menjadi 2 tipe:
      1.            Instrumental Complain, yaitu komplain atau keluhan yang diungkapkan dengan tujuan mengubah situasi atau keadaan yang tidak diinginkan. Keluhan langsung disampaikan kepada perusahaan dengan harapan perusahaan dapat memperbaiki situasi tersebut.
      2.            Non-instrumental complain, keluhan yang dilontarkan tanpa ekspetasi khusus bahwa situasi yang tidak diinginkan tersebut akan berubah. Komplain ini mencakup pula instrumental complain yang disampaikan kepada pihak ketiga dan bukan kepada pihak yang menimbulkan masalah.
Keluhan dibedakan menjadi keluhan langsung dan tidak langsung.
      1.            Keluhan langsung merupakan keluhan yang disampaikan secara langsung baik melalui tatap muka atau komunikasi lewat telepon.
      2.            Sedangkan keluhan tidak langsung merupakan keluhan yang disampaikan secara tertulis yaitu via surat atau form pengaduan yang disediakan perusahaan atau pun melalui pihak ketiga seperti pengacara dan surat melalui media massa.

SOP (Standar Operasional Procedure) dalam penanganan komplain
Prosedur Penanganan Komplain Internal dan Eksternal :
1.      Keluhan pasien/keluarga pasien/ dokter/ karyawan internal RSHLMC secara lisan/ tertulis disampaikan kepada Petugas Customer Service (CS)
2.      Jika permasalahan berhubungan dengan pasien/ keluarga pasien maka petugas CS harus melakukan tindakan perbaikan langsung termasuk meminta maaf jika perlu.
3.      Bila petugas CS tidak bisa menyelesaikan, lapor kepada kepala Instalasi/Unit yang bersangkutan terhadap kasus tersebut.
4.      Bila kepala Instalasi/ Unit ybs belum bisa menyelesaikan, meneruskan permasalahan/keluhan pasien ke kepala bidang atau kepala bagian yang membawahi Instalasi/ Unit yang bersangkutan.
5.      Keluhan pasien/ keluarga pasien/ dokter karyawan dapat disalurkan secara tertulis melalui kotak saran yang ada di counter CS atau di Kasir .


2.4 Monitoring dan Evaluasi Manajemen Komplain
            Monitoring dilakukan untuk memantau proses yang dilakukan dalam rangka memperbaiki atau menindak lanjuti keluhan pelanggan, hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang harus diperbaiki atau diubah agar meminimalisir pengulangan kejadian / kesalahan.
            Sementara itu evaluasi secara umum merupakan suatu pemeriksaan terhadap pelaksanaan suatu program yang telah dilakukan untuk mengendalikan ke depannya agar jauh lebih baik. Jadi evaluasi lebih bersifat melihat ke depan dan ditujukan untuk perbaikan dan peningkatan keberhasilan program. Untuk melihat berhasil atau tidaknya perbaikan yang telah kita lakukan adalah dengan melihat hasil akhir (output). Bila outputnya keluhan pelanggan tidak tertangani maka pihak terkait bisa melihat pada prosesnya agar dapat mengetahui dimana letak kesalahan yang membuat keluhan pelanggan tidak teratasi, disinilah peran monitoring dan evaluas saling berdampingan.

2.5 Contoh Permasalahan Komplain
Pada waktu saya melakukan praktikum mata kulian front office rumah sakit, yaitu mengenai keluhan/komplain pasien yang bertempat di  RS Balimed. Yaitu saya menemukan salah satu komplain sebagai berikut:
Komplain:
Seorang pasien dengan status pasien rawat jalan datang ke bagian administrasi untuk melakukan kontrol dengan jadwal yang sudah sesuai dengan praktik dokter spesialis  tersebut. Kemudian pasien datang sesuai jadwal yang sudah ditetapkan lengkap dengan membawa persyaratan untuk melakukan kontrol, pasien kemudian menunggu  sampai dokter datang. Setelah beberapa menit pasien menunggu  dan pasien merasa dokter sudah melewati jadwal praktik yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dan pasien pun datang kembali ke bagian administrasi untuk menanyakan hal tersebut dengan beranggapan pasien sudah menunggu terlalu lama dan jadwal praktik dokter ngaret sehingga  pasien pun komplain.

Hasil:
Petugas administrasi berusaha memberikan menjelaskan kepada pasien  bahwa jadwal praktik dokter  ngaret karena masih melakukan operasi dengan pasien emergency yg tidak bisa dilakukan dengan waktu yang singkat, serta  memberikan alasan yang dapat diterima dan dipahami oleh pasien.

Rekomendasi Perbaikan:
Petugas administrasi sebaiknya mengecek serta memastikan kembali jadwal  praktik dokter apakah ada perubahan  dan jika ada perubahan jadwal praktik dari dokter dan maka bagian administrasi memberitahukan kepada pasien via telepon sebelum pasien datang ke rumah sakit.Dan jika pasien komplain jangan kita menyela/memotong pembicaraan agar  terkesan kita menghargai pasien tersebut.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan adanya complaint, Rumah Sakit akan tahu dimana letak persisnya kualitas yang harus diperbaiki. Apakah pada kemasannya, pelayanan medis dan Rumah Sakit, atau pada fasilitas Rumah Sakit. Dengan demikian akan memudahkan Rumah Sakit untuk memperbaiki produk atau jasa tersebut.

3.2 Saran
            Saran ini tertuju kepada Rumah Sakit serta pihak yang terkait di dalamnya. Bertujuan untuk meningkatkan serta memperbaiki semua pelayanan, fasilitas pelayanan kesehatan agar pasien merasa puas terhdap semua pelayanan yang diterima sehingga tidak terjadinya komplain.


















DAFTAR PUSTAKA







MAKALAH AGAMA HINDU PROSES PITRA YADNYA SAMPAI MENJADI DEWA HYANG



MAKALAH AGAMA HINDU
 PROSES PITRA YADNYA SAMPAI MENJADI DEWA HYANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kerangka dasar ajaran agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika) dan upacara (rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki dan dilaksanakan (Anonim, 1968). Kehidupan masyarakat Bali sehari-harinya didasari atas filsafat Tri Hita Karana yaitu kearmonisan hidup yang bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak lain adalah dari Tuhan, manusia dan alam sekitarnya ( Purnomohadi, 1993). Penerapan Tri Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan yadnya pada kehidupan sehari-harinya adalah sebagai berikut :
     1.            Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
     2.            Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusia Yadnya
     3.            Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang diwujudkan dengan Buhta Yadnya. (Anonim 2000).
Kelima upacara keagamaan di atas disebut dengan Panca Yadnya yaitu :
     1.            Dewa Yadnya adalah suatu korban suci yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa-dewa.
     2.            Pitra Yadnya adalah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar suci yang ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama. (Anonim, 2000)
     3.            Resi Yadnya adalah upacara keagamaan yang ditujukan kepada Rsi atau orang suci. seperti upacara penobatan calon sulinggih (mediksa), mengaturkan punia kepada para sulinggi, mentaiti dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih, membantu pendidikan calon sulinggih dan membuat tempat pemujaan beliau.(Anonim 1968)
     4.            Manusia Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir bathin dan memelihara hidup manusia dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidup manusia
     5.            Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya. Ditujukan pada dua sasaran yaitu 1 (satu) Pembersihan alam dari gangguan pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para buta kala dan makluk yang dianggap lebih rendah dari manusia. Dan 2(dua) Pembersihan terhadap sifat bhuta kala dan makluk itu sehingga sifat baik dan kekuatanya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam.
1.2       Rumusan Masalah.
            Dalam pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang kami jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dan tujuan dilaksankannya Pitra Yadnya?
2.      Bagiamana Runtutan Pitra Yadnya sampai menjadi Dewa Hyang ?
3.      Bagiamana puja saat datang ke tempat pitra yadnya ?

1.3       Tujuan Pencapaian
            Dari berbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan yaitu :
1.      Agar kita mengetahui dan tujuan dilaksankannya Pitra Yadnya
2.      Agar kita mengetahui Runtutan Pitra Yadnya sampai menjadi Dewa Hyang
3.      Agar kita mengetahui puja saat datang ke tempat pitra yadnya ?


















BAB II
PMBAHASAN

2.1. Pengertian, Tujuan, Dasar Dilaksananya Dan  Pedewasaa Pitra Yadnya
Pitra yadnya adalah upacara penghormatan dan kewajiban suci kepada para leluhur termasuk kepada orang tua kita yang telah meninggal dunia sehingga nantinya beliau masih tetap dapat terhubung;
Sehubungan dengan kelahiran kita serta perhatiannya semasa hidup kita;  Dan juga sebagai kewajiban pitra rna yang harus dilakukan oleh setiap umat manusia.
a.      Tujuan Pitra Yadnya
Tujuan pelaksanaan upacara pitra yadnya sebagaimana disebutkan dalam kutipan artikel yayasan upacara pitra yadnya Indonesia, pitra yadnya ini bertujuan :
Sebagai proses pengembalian Panca Maha Bhuta Sang Amantuk, agar kembali ke sumbernya yakni Sang Hyang Prakerthi sebagai kekuatan "Acetana" dari Sang Hyang Widhi
Sedangkan penyucian atman (Rokh atau Arwah dari Sang Amantuk), sungguhnya lebih ditentukan oleh karma wasana nya sendiri ketika masih hidup di Mercapada, alam bwah loka dan yadnya yang dilakukan oleh preti sentananya ( Putra Yang Su-Putra ) dengan urutan upacara yaitu :
v  Sawa Wedana, pengeringkesan, pangaskaran dan ngaben
v  Asti Wedana, dari ngereka sampai nganyut sekah
v  Atma Wedana, dari ngangget don bingin sampai ngelinggihin dewa pitara
v  Setelah meajar-ajar, maka selesailah seluruh rangkaian upacara Pitra yadnya yang dilaksanakan.
v  Yang seluruh urutan Pitra Yadnya tersebut dapat diringkas dengan upacara ngelanus yang dilaksanakan secara lebih efisien.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, tujuan upacara Pitra Yadnya ini dilaksanakan yang sebagaimana disebutkan babad bali, jenis yadnya ini bertujuan untuk :
v  Pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, 
v  Mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam sorga; swah loka
v  Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti
v  Memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya ini.
Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orang tuanya (leluhur) seperti:
v  Kita berhutang badan (sarira kosha) yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
v  Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
v  Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha

b.      Dasar Dilaksanakannya Pitra Yadnya
Upacara Pitra yadnya ini juga disebutkan didasari atas hukum sebab akibat dari karma phala, sebagai keyakinan adanya Punarbhawa dan kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia atau alam semesta ini, dalam alam yang lebih halus. 
Disebutkan dalam kutipan artikel Catatan Bytescode, Upacara Pitra Yadya, terdapat empat lontar utama yang memberikan petunjuk tentang upacara yadnya ini yaitu :
v  Lontar Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen / tetandingan banten yang digunakan), bentuk-bentuk bangunan petulangan, tiaksara kajang, dan sarana upacaranya.
v  Lontar Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan (Lontar Kamoksan) atau pencarian atma dan hari baik-buruk (ala ayuning dewasa) melaksanakan upacara), 
Lontar Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang) serta Dan juga dalam persembahan upacara pitra yadnya ini yang disebutkan dalam lontar putru pasaji, ada banyak jenis ikan yang dapat dijadikan persembahan kepada sang pitara. Lamanya kesenangan yang dapat diberikan oleh masing-masing ikan berbeda. Ikan laut kualitasnya paling rendah karena dapat memberikan kesenangan hanya selama satu bulan. Sedangkan ikan/daging yang kualitasnya tertinggi adalah badak, karena akan dapat memberikan kesenangan selamanya di sorga. 

c.       Penentuan Pedewasaan
Tentang penentuan hari baik dan buruk (padewasan) yang berhubungan dengan Pitra Yadnya ini banyak disebutkan dalam lontar aji swamandala, seperti larangan melakukan upacara pitra yadnya ini pada saat tumpek.
Dokumen PuraKawitan, Pitra Yajnya2000, khususnya buat kita Umat Hindu disebutkan beberapa istilah seperti :
     1.            Pegat Angkihan, tujuan doa pralina agar roh berjalan tenang dan diterima oleh Ida Shang Hyang Wenang / Hyang Widhi dan dapat mencapai kesucian.
     2.            Angenan | simbolisasi dari pada batin atau jiwa sang atma yang diletakkan di atas pelengkungan tempat jenasah.
     3.            Bubur pirata hendaknya juga dilengkapi dengan empehan atau susu.
     4.            Tetandingan Banten Papegat, sampiyanya disebutkan dilengkapi dengan 2 buah sesampiyan pusung dengan gantung – gantungan.
     5.            Perlengkapan Upacara Pitra Yadnya yang dibutuhkan disesuaikan dengan kemampuan sesuai dengan Desa Kala Patra dengan tingkatan - tingkatan Tri Mandala dalam bentuk nista – madya – utamanya seperti halnya dalam pembuatan tetukon karena bahan-bahan dari kelengkapannya sangat membutuhkan waktu untuk mencarinya.
     6.            Aji Kembang, Kidung Pitra Yadnya disebutkan dilantunkan pada saat wawu seda, nangunin, nyiramin layon.
     7.            Dalam tradisi warisan nenek moyang, upacara ngunye yang dilakukan saat upacara pitra yadnya ini juga disebutkan ditujukan untuk memberikan kesempatan terakhir bagi krama Banjar untuk dapat ngampurayang / memaafkan sang pitra jika ada kesalahan / kekeliruan yang diperbuat terhadap krama dan belum dimaafkan hingga dibawa mati.

2.2. Runtutan Upacara Pitra Yadnya sampai Menjadi Hyang Dewa
Pitra Yadnya landasannya adalah Weda, terutama ajaran Panca Yadnya, Catur Guru, dan lainnya, sehubungan di bali ajaran Hindu banyak dituangkan dalam lontar, maka lontar yang khusus memuat Pitra Yadnya, adalah : Lontar Aji Lokhakretih, Tutur Budha Gama, Lontar Aji Purwakretih, Lontar Yama Purana Tattwa, dan lainnya, jadi Pitra Yadnya sudah ada ageman yang benar sesuai sastra agama, kalau ada perbedaan itu umumnya masalah Drestha. Ngaben dilaksanakan setelah orang itu meninggal dimana menurut ”Vrasphati Tattwa” orang dikatakan meninggal adalah ”setelah Atman ini terlepas dari Panca Maha Bhuta (Apah=darah, keringat, Teja=panas badan, Bayu=napas, Akasa=lobang/rongga, Pertiwi=kulit,daging,otot,lemak) yang merupakan badan kasar (sthula sarira). Badan ini juga terdiri dari ”Panca Tan Matra” (Sabda=telinga&mulut, Sparsa=kulit, Rupa=mata, Rasa=lidah, Gandha=hidung yang mempunyai fungsi merasakan, mencium, dll.)Lepasnya Atma dari ikatan Panca Maha Bhuta maka disebut dengan Mati.Atman jika belum dilakukan Pitra Yadnya disebut petra , yakni Atman yang belum disempurnakan . Atman demikian masih berada di bhur-loka. Apabila sudah dilakukan Pitra Yadnya, maka atmanya disebut pitara. Atman ini telah disucikan karena sudah melakukan dwijati dengan memohonkan pada Hyang Widhi. Atman yang demikian itu sudah berada di bhuwah-loka , disebut pula alam pitra/pitara. Atman dalam tingkatan pitara belum bisa ke swah-loka atau alam dewata yang juga disebut swarga , karena belum melakukan upacara peningkatan kesucian yang terakhir, yaitu upacara mamukur atau nyekah . Mamukur artinya menuju alam atas, yakni alam di atas bhuwah-loka , yaituswah loka. Swah loka juga disebut swarga yang artinya berada di dalam swah. Upacara mamukur adalah upacara peningkatan kesucian atman menjadidewa pitara , artinya pitara yang telah berada di alam-dewa, yaitu swah-loka . Karena dewa pitara yang sudah penuh kesuciannya berada di alam-dewa dan juga berfungsi membimbing serta melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara juga diberikan sebutan Batara kawitan , sebagaimana yang dipuja di palinggih kamulan atau kawitan oleh keturunannya. Jadi Atman dalam tubuh dibungkus (dibelenggu) oleh 3 (tiga) hal, yaitu : sthula sarira (badan kasar), suksma sarira (badan halus) dan terakhir Karma Wasana (perbuatan selama hidup). Tujuan Pitra yadnya adalah melepaskan Atma dari belenggu tersebut. Pelepasan Atma dari ikatan sthula sarira disebut dengan”Sawa/Asti-Wedana (Sawa Wedana=dibakar, Asti Wedana=dikubur lalu dibakar)”, hal ini dikenal dengan Ngaben, sementara pelepasan ikatan suksma sarira disebut dengan ”Atma Wedana” atau Nyekah/Memukur, proses berikutnya adalah ”Ngelinggihang Dewa Hyang” yang diawali dengan ”Me-Ajar-ajar”. Prosesi Pitra Yadnya dari penguburan/pembakaran sampai Ngelinggihang Dewa Hyang atas Atman ini berdasarkan pada sastra agama, apakah Atman ini akan menjadi Dewa Hyang kita semua tidak tahu tetapi kita perlu meyakini ajaran agama, yang lebih penting lagi kita pratisentana sudah melakukan sesuatu yang baik yaitu ”bhakti”. Pada akhirnya sastra agama juga menyebutkan, bahwa setelah lebur/lepas dari Sthula dan Suksme Sarira, maka yang tertinggal adalah ”Karma Wasana” dan inilah yang akan menentukan reinkarnasi atau tidaknya Atman tersebut.

Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
     1.            Sawa Wedana : Ngaben yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
     2.            Asti Wedana : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebihdahulu ditanam disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat untuk diaben.
     3.            Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).
a.      Proses ”PITRA YADNYA”
Proses Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana, dan Svasta, secara umum adalah sbb :
Sawa Wedana :
      1.            Nyiramang Layon (prosesi Nyiramang layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta selengkapnya)
      2.            Layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat yang telah disediakan.
      3.            Sampai pada hari ”pengutangan” maka dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan Caru Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
      4.            Dalam perjalanan disebar ”sekar ura (beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”, maksudnya perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu diberikan kesejahtraan & kemakmuran.
      5.            Pada persimpangan (perempatan) dilakukan pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah jarum jam (prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal dengan desa pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk membangunkan unsur Panca maha bhuta.
      6.            Setelah sampai disetra juga ditempat pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu usungan diturunkan.
      7.            Ngaturang piuning ke Pura Dalem dan Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma yang meninggal.
      8.            Layon ditempatkan ditempat yang disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan, kahyangan tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan Ngayabang banten yang diletakkan didada berupa daksina tadi dengan kelengkapannya, barulah dilakukan”pembakaran”.
      9.            Sisa pembakaran berupa tulang/galih dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas penguyegan lalu ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi sebagai wujud ”Puspa Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan dan kain kasa putih selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai orang-orangan diatas kain putih yang telah dirajah beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh dua)ditaruh pada: ubun ubun, mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan, puser, huluhati, perut, kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
  10.            Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan Puspa Asti (Atma).
  11.            Sisa galih dibungkus dengan kain putih berbarengan penempatannya dengan alat/sarana pembersihan dan disertakan dalam proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari rangkaian upacara ini adalah ”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang bermuara kelaut.
  12.            Setelah itu dilanjutkan dengan upacara ”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga atau Daksina Linggih.
  13.            Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura Dalem dimana Puspa Lingga tersebut dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai disini.
  14.            Pembersihan terakhir adalah diadakan ”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan, serta Mrajan dadia.

Untuk ”Asti Wedana dan Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang belulang sementara Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira). Prosesnya adalah sbb :
      1.            Diawali membuat ”Tegteg” yaitu bentuk manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup berupa ”Daksina Pengawak” dihias sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai jenis kelamin dan diberi pipil nama.
      2.            Tegteg diiring ke Pura dalem tujuannya matur piuning serta memohon Atma yang akan diaben. Acara ini cukup oleh Pinandita/Pemangku.
      3.            Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di Pura Mrajapati.
      4.            Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan, dengan memukulkan ”upih (pelepah daun pisang) sebanyak tiga kali.
      5.            Upacara ”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan ditemukan tulang belulang, maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat dengan dimana ujungnya dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua keluarga siap melaksanakan upacara.
      6.            Tulang belulang diangkat dan ditempatkan di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi ulu hati dari bahan kayu dadapdan diberikan leluwur kain putih yang telah dirajah. Tulang belulang dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih hal ini disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan disuatu tempat yang disediakan masih diareal setra.
      7.            Tegteg diletakkan diatas bungkusan tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai layaknya sawe utuh lalu ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
      8.            Proses selanjutnya adalah sama seperti ”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang belulang diawali dengan ”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa Hyang”.

Ngelunggah (Ngerapuh) :
Anak yang telah ”tanggal gigi” diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan untuk anak/bayi yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan ”mependem” saja, bila dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah atau Ngerapuh”. Proses Ngelunggah adalah :
v  Piuning ke Pura Dalem
v  Piuning ke Mrajapati
v  Piuning ke Sedahan Setra
v  Piuning di Bambang rare
v  Banten kepada roh bayi dan tirta pengerapuh.
Prosesnya: dengan banten yang sudah tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan pemujaan agar roh sang bayi disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang telah dimohon pada : Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir bambang diratakan dan semua banten dipendem.

Ngelanus
Bila Upacara Pitra Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut dengan”Ngelanus atau Numandang Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak dilakukan karena lebih effisien dan lebih cepat, prosesnya adalah :
Setelah ”Nganyut”, seketika itu :
v  mapegat mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”, ngalap don bingin, ngajum sekah.
v  Setelah Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke Segara.
v  Selanjutnya Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.
Kajang dan Berbagai Tirta
Semua bentuk Pitra Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan kepatutan masing-masing, juga tirta tunggangdari Bhatara Kawitan/leluhur, juga ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu menggunakan Tirta Pingit serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi Pitra Yadnya tersebut. Hal yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta Panembak, Tirta pemanah, Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta lainnya.
a.       Tirta panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
b.      Tirta pangelukatan tirta ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya oleh tirta ini.
c.       Tirta pamanah . Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
d.      Tirta pangentas . Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentas merupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput ,bertujuan memutuskan ikatan  purusa  dengan  prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra Yadnya yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa tirtapangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa angga . DalamYoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah muncul api yang membakarstula –nya. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra Yadnya.
e.       Tirta kakuluh , bermakna sebagai pemberian restu kepada orang yang di upacara Pitra Yadnya.
b.      Nyekah
Nyekah disebut juga Nyekar karena nama sang Pitra sudah diganti dengan nama bunga, misal sandat,cempaka,jempiring,dan sbeagainya (untuk sawa wanita), sedangkan untuk sawa pria memakai nama kayu yaitu cendana,majagau,ketewel,damulir,dan sebagainya.Sering juga upacara ini dinamakan Ngeroras, yang berasal dari kata Ro (dua) dan Ras (pisah), yang secara harfiah berarti pisah dua kali.Tujuan upacara ini adalah menghilangkan Sukma Sarira atau Panca tan matra sebagai langkah kedua mensucikan atma.Nyekah diawali dengan Ngulapin di Segara,kemudian Ngajum Sekah,lalu Ngaskara Sekah,Narpana Sekah,Ngeseng Sekah, dan Nganyut Sekah.Ngulapin di Segara bertujuan untuk mohon ijin Ida Bethara Baruna sebagai penguasa laut untuk melanjutkan upacara Pitra Yadnya .Ngajum Sekah adalah membuat simbol Panca Tan Matra yang disebut Puspa Lingga.Ngaskara Sekah adalah mendak dan mensucikan Puspa Lingga.Narpana Sekah adalah menghaturkan sesajen kepada atman yang sudah disucikan.Ngeseng sekah dilaksanakan dengan membakar Puspa Lingga sebagai simbol menghilangkan Panca Tan Matra bertujuan agar atma dapat dengan damai menuju khayangan, tidak lagi terikat dengan keduniawian.Nganyut Sekah adalah kelanjutan dari membuang panca tan matra serta mensucikan atma dengan air dari tujuh sungai yang ada di India (Sapta Gangga), yaitu gangga, Yamuna, Serayu,kaweri,Sindu,Saraswati, dan Narmada.Ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, sehingga laut dapat dipandang sebagai perwakilan ketujuh sungai tersebut.Setelah Nyekah, ikatan atma sudah terbebas dari Panca maha Butha dan panca tan matra, sehingga yang masih melekat dan ditanggung jawabkan oleh atman ke hadapan Hyang Widhi adalah karma Wasana, yaitu baik buruknya karma (Subha Asubha Karma) sewaktu masih hidup.Kondisi Karma Wasana inilah yang menentukan baik buruknya kehidupan dimasa yang akan datang setelah berinkarnasi (lahir kembali) ke dunia.
Upacara mapaingkup disebut juga sebagai upacara Ngerajeg Linggih, karena mepaingkup artinya menyatukan serta menstanakan, dalam hal ini menyatukan atma yang baru diupacarai dengan atma-atma yang yang sudah lama diupacarai yang berstana di Sanggah Pamerajan.Upacara ini terdiri dari dua bagian yaitu Masakapana Nilapati dan Nawur danda Kalepasan.Masakapan Nilapati diawali dengan Ngulapin di Segara sebagai permohonan ijin kepada Ida Bhatara Baruna, kemudian Nyegara Gunung yang tujuannya mohon kesejahteraan kepada Hyang Widhi dan dilanjutkan di sangah merajan untuk proses panunggalan dan penstanaan disaksikan oleh Catur Dewata (Iswara,Brahma,Mahadewa,dan Wisnu).Bagian kedua upacara Mapaingkup adalah Nawur Danda Kalepasan yang dilaksanakan dengan persembahyangan oleh preti sentana, memohon kepada Hyang Widhi agar atma yang telah diupacarai mendapat tempat yang baik serta dimaafkan segala kesalahannya ketika amsih hidup, termasukjanji-jani sesangi atau saud-saud yang belum terbayar, agar dipulihkan serta tidak lagi menjadi beban bagi preti sentana.Setelah mepangkur, status atma sudah menjadi Bethara Dewa Hyang atau Bethara Raja Dewata.
Setelah upacara mapaingkup atau ngerajeg linggih,dilaksanakan upacara maajar-ajar.Tujuannya adalah nagkilang Bhatara Raja Dewata ke pura pura stana para Dewa (Hyang Widhi) agar mendapat restu serta dikenal sebagai atma yang sudah disucikan.Kemiripan upacara ini seperti pelaksanaan TirtaGamana bagi manusia yang masih hidup.Adapun pura-pura yang wajib dikunjungi ketika meajar-ajar antara lain :
     1.            Pura Khayangan Tiga setempat
     2.            Kelompok pura di Lempuyang Stana Hyang Giri Jaya
     3.            Silayukti, stana Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah
     4.            dasar Bhuwana Gelgel stana Mpu Ghana
     5.            Pura kawitan
     6.            Besakih, meliputi pura Dalem Puri,Manik Mas,Pedharman masing-masing,Penataran Agung
Bilamana ada kesempatan, alangkah baiknya jika dilanjutkan ke pura Uluwatu,Pulaki,Batur,Penulisan,RambutSiwi,dan sebagainya.Setelah meajar-ajar,maka selesailah seluruh rangkaian upacara Pitra yadnya.

2.3.Doa Pitra Puja
DOA BERSAMA PADA SAAT MENGHADIRI ACARA KEMATIAN
SURAT PHDI PUSAT NO: 0918/PARISADE/P-/X/2004
Om svargantu Pitaro devah
Svargantu pitara ganam
Svargantu pitarah sarvaya
Namah svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat tempat di surga
Semoga semua atma yang suci mendapat tempat di surga
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om moksantu Pitaro devah
Moksantu pitara ganam
moksantu pitarah sarvaya
Namah svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mencapai moksa
Semoga semua atma yang suci mencapai moksa
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om sunyantu Pitaro devah
Sunyantu pitara ganam
Sunyantu pitarah sarvaya
Namah svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat ketenangan
Semoga semua atma yang suci mendapat ketenangan
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om bagyantu Pitaro devah
Bagyantu pitara ganam
Bagyantu pitarah sarvaya
Namah svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat kebahagian sejati
Semoga semua atma yang suci mendapat kebahagiaan sejati
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om ksamantu Pitaro devah
Ksamantu pitara ganam
Ksamantu pitarah sarvaya
Namah svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat pengampunan
Semoga semua atma yang suci dibebaskan segala dosanya
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Pitra yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia. Pitra yadnya juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada ayah-bunda dan kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang ada di lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak ( sentana ) terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya di pandang sangat penting, karena seorang anak ( sentana ) mempunyai hutang budi, bahkan dapat di katakana berhutang jiwa kepada leluhurnya.
Tiga perinciannya ( yang disebut ) Bapa menurut tingkah lakunya, carirakrta, pranadata ( dan ) annadata; carirakrta artinya yang menjadikan tubuh, pranadata yaitu yang memberi hidup ( dan ) annadata artinya yang memberi makan serta mengasuhnya. Dengan memperhatikan jasa-jasa orang tua tersebut, maka seorang anak( sentana ) berkewajiban melaksanakan Pitra Yadnya di dalam hidupnya, yang berintikan rasa bakti yang tulus ikhlas demi untuk pengabdian kepada orang tua dan leluhur. Upacara Pitra Yadnya bertujuan untuk meningkatkan kedudukan Pitara atau roh-roh leluhur yang telah meninggal sesuai dengan tingkatan yadnya yang di selenggarakan. Jadi menurut agama Hindu, bahwa orang yang masih hidup dapat juga turut berusaha mengangkat kedudukan Pitara, dari tingkat rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Ada beberapa upacara aygn termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya, yaitu Upacara Penguburan Mayat, Upacara Ngaben dan Nyekah.

3.2.Saran
Kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Brahman (Hyang Widhi) harus selalu mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari terutama perbuatan yang ditujukan kepada orang tua haruslah sesuai dengan sesana kita sebagai anak sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan yang sejati.
Apabila kita memiliki orang tua yang sudah meninggal tetapi belum di aben maka kita sebagai anak harus melaksanakan hal tersebut, karena itu merupakan kewajiban kita sebagai anak.



DAFTAR PUSTAKA