MAKALAH AGAMA HINDU
PROSES PITRA YADNYA SAMPAI MENJADI DEWA HYANG
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Kerangka dasar ajaran
agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika)
dan upacara (rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri
sendiri tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki dan
dilaksanakan (Anonim, 1968). Kehidupan masyarakat Bali sehari-harinya
didasari atas filsafat Tri Hita Karana yaitu kearmonisan hidup
yang bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak lain adalah dari
Tuhan, manusia dan alam sekitarnya ( Purnomohadi, 1993). Penerapan Tri
Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan yadnya pada kehidupan
sehari-harinya adalah sebagai berikut :
1.
Hubungan antara manusia dengan Tuhan
yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2.
Hubungan antara manusia dengan sesamanya
diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusia
Yadnya
3.
Hubungan manusia dengan alam lingkungan
yang diwujudkan dengan Buhta Yadnya. (Anonim 2000).
Kelima upacara keagamaan di atas disebut
dengan Panca Yadnya yaitu :
1.
Dewa Yadnya adalah suatu korban
suci yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para
Dewa-dewa.
2.
Pitra Yadnya adalah suatu
penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar suci yang
ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama. (Anonim, 2000)
3.
Resi Yadnya adalah upacara
keagamaan yang ditujukan kepada Rsi atau orang suci. seperti upacara
penobatan calon sulinggih (mediksa), mengaturkan punia kepada para
sulinggi, mentaiti dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih, membantu
pendidikan calon sulinggih dan membuat tempat pemujaan beliau.(Anonim
1968)
4.
Manusia Yadnya adalah suatu korban
suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir bathin dan memelihara hidup
manusia dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidup
manusia
5.
Bhuta Yadnya adalah suatu korban
suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya. Ditujukan
pada dua sasaran yaitu 1 (satu) Pembersihan alam dari gangguan pengaruh
buruk yang ditimbulkan oleh para buta kala dan makluk yang dianggap lebih
rendah dari manusia. Dan 2(dua) Pembersihan terhadap sifat bhuta kala dan
makluk itu sehingga sifat baik dan kekuatanya dapat berguna bagi
kesejahteraan umat manusia dan alam.
1.2
Rumusan Masalah.
Dalam
pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang kami
jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah
yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dan tujuan dilaksankannya
Pitra Yadnya?
2.
Bagiamana Runtutan Pitra Yadnya sampai
menjadi Dewa Hyang ?
3.
Bagiamana puja saat datang ke tempat pitra
yadnya ?
1.3
Tujuan Pencapaian
Dari
berbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin
kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan
yaitu :
1.
Agar kita mengetahui dan tujuan
dilaksankannya Pitra Yadnya
2.
Agar kita mengetahui Runtutan Pitra
Yadnya sampai menjadi Dewa Hyang
3. Agar
kita mengetahui puja saat datang ke tempat pitra yadnya ?
BAB
II
PMBAHASAN
2.1.
Pengertian, Tujuan, Dasar Dilaksananya Dan
Pedewasaa Pitra Yadnya
Pitra yadnya
adalah upacara penghormatan dan kewajiban suci kepada para leluhur termasuk
kepada orang
tua kita
yang telah meninggal dunia sehingga nantinya beliau masih tetap dapat
terhubung;
Sehubungan dengan kelahiran kita
serta perhatiannya semasa hidup kita; Dan juga sebagai kewajiban pitra
rna yang
harus dilakukan oleh setiap umat manusia.
a. Tujuan Pitra Yadnya
Sedangkan
penyucian atman (Rokh
atau Arwah dari
Sang Amantuk), sungguhnya lebih ditentukan oleh karma
wasana nya sendiri ketika masih hidup di Mercapada,
alam bwah
loka dan
yadnya yang dilakukan oleh preti sentananya ( Putra Yang Su-Putra ) dengan
urutan upacara yaitu :
v Atma
Wedana, dari ngangget don bingin sampai ngelinggihin dewa
pitara
v Setelah
meajar-ajar, maka selesailah seluruh rangkaian upacara Pitra yadnya yang
dilaksanakan.
v Yang
seluruh urutan Pitra Yadnya tersebut dapat diringkas dengan upacara ngelanus yang
dilaksanakan secara lebih efisien.
Bagi keluarga yang
ditinggalkan, tujuan upacara Pitra Yadnya ini dilaksanakan yang sebagaimana
disebutkan babad
bali, jenis yadnya ini bertujuan untuk :
v Pengabdian
dan bakti yang tulus ikhlas,
v Mengangkat
serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam sorga; swah
loka.
v Memperhatikan
kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti,
v Memberikan
sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya
juga termasuk pelaksanaan Yadnya ini.
Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran
bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orang
tuanya (leluhur) seperti:
v Kita
berhutang badan (sarira
kosha) yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
v Kita
berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
v Kita
berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha
b. Dasar Dilaksanakannya Pitra Yadnya
Upacara Pitra yadnya
ini juga disebutkan didasari atas hukum sebab akibat dari karma
phala, sebagai keyakinan adanya Punarbhawa dan
kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia atau alam
semesta ini, dalam alam yang lebih halus.
Lontar
Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk
rerajahan kajang) serta
Dan juga dalam persembahan upacara pitra yadnya ini yang disebutkan dalam lontar
putru pasaji, ada banyak jenis ikan yang dapat
dijadikan persembahan kepada sang pitara. Lamanya kesenangan yang dapat
diberikan oleh masing-masing ikan berbeda. Ikan laut kualitasnya paling rendah
karena dapat memberikan kesenangan hanya selama satu bulan. Sedangkan
ikan/daging yang kualitasnya tertinggi adalah badak, karena akan dapat
memberikan kesenangan selamanya di sorga.
c. Penentuan Pedewasaan
Tentang penentuan hari
baik dan buruk (padewasan)
yang berhubungan dengan Pitra
Yadnya ini banyak disebutkan dalam lontar aji
swamandala, seperti larangan melakukan upacara pitra yadnya
ini pada saat tumpek.
1.
Pegat Angkihan, tujuan doa pralina
agar roh berjalan tenang dan diterima oleh Ida Shang Hyang Wenang / Hyang Widhi
dan dapat mencapai kesucian.
2.
Angenan | simbolisasi
dari pada batin atau jiwa sang atma yang
diletakkan di atas pelengkungan tempat jenasah.
3.
Bubur
pirata hendaknya juga dilengkapi dengan empehan atau
susu.
4.
Tetandingan Banten Papegat, sampiyanya
disebutkan dilengkapi dengan 2 buah sesampiyan pusung dengan gantung –
gantungan.
7.
Dalam tradisi warisan nenek
moyang, upacara ngunye yang dilakukan saat upacara pitra yadnya ini juga
disebutkan ditujukan untuk memberikan kesempatan terakhir bagi krama Banjar untuk
dapat ngampurayang /
memaafkan sang pitra jika
ada kesalahan / kekeliruan yang diperbuat terhadap krama dan belum dimaafkan
hingga dibawa mati.
2.2.
Runtutan Upacara Pitra Yadnya sampai Menjadi Hyang Dewa
Pitra Yadnya
landasannya adalah Weda, terutama ajaran Panca Yadnya, Catur Guru, dan lainnya,
sehubungan di bali ajaran Hindu banyak dituangkan dalam lontar, maka lontar
yang khusus memuat Pitra Yadnya, adalah : Lontar Aji Lokhakretih, Tutur Budha
Gama, Lontar Aji Purwakretih, Lontar Yama Purana Tattwa, dan lainnya, jadi
Pitra Yadnya sudah ada ageman yang benar sesuai sastra agama, kalau ada
perbedaan itu umumnya masalah Drestha. Ngaben dilaksanakan setelah orang itu
meninggal dimana menurut ”Vrasphati Tattwa” orang dikatakan meninggal adalah
”setelah Atman ini terlepas dari Panca Maha Bhuta (Apah=darah,
keringat, Teja=panas badan, Bayu=napas, Akasa=lobang/rongga,
Pertiwi=kulit,daging,otot,lemak) yang merupakan badan kasar (sthula
sarira). Badan ini juga terdiri dari ”Panca Tan
Matra” (Sabda=telinga&mulut, Sparsa=kulit, Rupa=mata, Rasa=lidah,
Gandha=hidung yang mempunyai fungsi merasakan, mencium, dll.)Lepasnya Atma dari
ikatan Panca Maha Bhuta maka disebut dengan Mati.Atman jika belum dilakukan
Pitra Yadnya disebut petra , yakni Atman yang belum
disempurnakan . Atman demikian masih berada di bhur-loka. Apabila
sudah dilakukan Pitra Yadnya, maka atmanya disebut pitara. Atman ini telah
disucikan karena sudah melakukan dwijati dengan memohonkan pada Hyang
Widhi. Atman yang demikian itu sudah berada di bhuwah-loka , disebut
pula alam pitra/pitara. Atman dalam tingkatan pitara belum bisa
ke swah-loka atau alam dewata yang juga disebut swarga ,
karena belum melakukan upacara peningkatan kesucian yang terakhir, yaitu upacara mamukur atau nyekah .
Mamukur artinya menuju alam atas, yakni alam di atas bhuwah-loka ,
yaituswah loka. Swah loka juga disebut swarga yang artinya
berada di dalam swah. Upacara mamukur adalah upacara peningkatan
kesucian atman menjadidewa pitara , artinya pitara yang
telah berada di alam-dewa, yaitu swah-loka . Karena dewa pitara yang
sudah penuh kesuciannya berada di alam-dewa dan juga berfungsi membimbing serta
melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara juga diberikan sebutan Batara
kawitan , sebagaimana yang dipuja di palinggih
kamulan atau kawitan oleh keturunannya. Jadi Atman dalam tubuh
dibungkus (dibelenggu) oleh 3 (tiga) hal, yaitu : sthula sarira (badan kasar),
suksma sarira (badan halus) dan terakhir Karma Wasana (perbuatan selama hidup).
Tujuan Pitra yadnya adalah melepaskan Atma dari belenggu tersebut. Pelepasan
Atma dari ikatan sthula sarira disebut dengan”Sawa/Asti-Wedana (Sawa
Wedana=dibakar, Asti Wedana=dikubur lalu dibakar)”, hal ini dikenal dengan
Ngaben, sementara pelepasan ikatan suksma sarira disebut dengan ”Atma
Wedana” atau Nyekah/Memukur, proses berikutnya adalah ”Ngelinggihang Dewa
Hyang” yang diawali dengan ”Me-Ajar-ajar”. Prosesi Pitra Yadnya dari
penguburan/pembakaran sampai Ngelinggihang Dewa Hyang atas Atman ini berdasarkan
pada sastra agama, apakah Atman ini akan menjadi Dewa Hyang kita semua tidak
tahu tetapi kita perlu meyakini ajaran agama, yang lebih penting lagi kita
pratisentana sudah melakukan sesuatu yang baik yaitu ”bhakti”. Pada akhirnya
sastra agama juga menyebutkan, bahwa setelah lebur/lepas dari Sthula dan Suksme
Sarira, maka yang tertinggal adalah ”Karma Wasana” dan inilah yang akan
menentukan reinkarnasi atau tidaknya Atman tersebut.
Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3
(tiga), yaitu :
1.
Sawa Wedana : Ngaben yang
layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
2.
Asti Wedana : Ngaben
dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebihdahulu ditanam disetra,
setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat
untuk diaben.
3.
Svasta : Ngaben dimana
layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).
a. Proses ”PITRA YADNYA”
Proses Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana,
dan Svasta, secara umum adalah sbb :
Sawa Wedana :
1.
Nyiramang Layon (prosesi Nyiramang
layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta selengkapnya)
2.
Layon digulung dengan kain putih yang
sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat yang telah
disediakan.
3.
Sampai pada hari ”pengutangan” maka
dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan Caru
Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
4.
Dalam perjalanan disebar ”sekar ura
(beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”, maksudnya
perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu diberikan
kesejahtraan & kemakmuran.
5.
Pada persimpangan (perempatan) dilakukan
pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah jarum jam
(prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal dengan desa
pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk membangunkan unsur Panca
maha bhuta.
6.
Setelah sampai disetra juga ditempat
pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu usungan
diturunkan.
7.
Ngaturang piuning ke Pura Dalem dan
Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma yang
meninggal.
8.
Layon ditempatkan ditempat yang
disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan, kahyangan
tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan Ngayabang banten yang
diletakkan didada berupa daksina tadi dengan kelengkapannya, barulah
dilakukan”pembakaran”.
9.
Sisa pembakaran berupa tulang/galih
dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas penguyegan lalu
ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi sebagai wujud ”Puspa
Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan dan kain kasa putih
selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai orang-orangan diatas kain putih yang
telah dirajah beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh
dua)ditaruh pada: ubun ubun, mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan,
puser, huluhati, perut, kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
10.
Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan
oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi tuntunan serta menghidupkan dan
mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan Puspa Asti (Atma).
11.
Sisa galih dibungkus dengan kain putih
berbarengan penempatannya dengan alat/sarana pembersihan dan disertakan dalam
proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari rangkaian upacara ini adalah
”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang bermuara kelaut.
12.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara
”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga atau Daksina Linggih.
13.
Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura
Dalem dimana Puspa Lingga tersebut dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai
disini.
14.
Pembersihan terakhir adalah diadakan
”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan, serta Mrajan dadia.
Untuk ”Asti Wedana dan
Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang belulang sementara
Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira). Prosesnya adalah
sbb :
1.
Diawali membuat ”Tegteg” yaitu bentuk
manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup berupa ”Daksina Pengawak” dihias
sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai jenis kelamin dan diberi pipil nama.
2.
Tegteg diiring ke Pura dalem tujuannya
matur piuning serta memohon Atma yang akan diaben. Acara ini cukup oleh
Pinandita/Pemangku.
3.
Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di
Pura Mrajapati.
4.
Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan,
dengan memukulkan ”upih (pelepah daun pisang) sebanyak tiga kali.
5.
Upacara ”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin
oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan ditemukan tulang belulang,
maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat dengan dimana ujungnya
dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua keluarga siap melaksanakan
upacara.
6.
Tulang belulang diangkat dan ditempatkan
di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi ulu hati dari bahan kayu dadapdan
diberikan leluwur kain putih yang telah dirajah. Tulang belulang dibersihkan
dan dibungkus dengan kain putih hal ini disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan
disuatu tempat yang disediakan masih diareal setra.
7.
Tegteg diletakkan diatas bungkusan
tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai layaknya sawe utuh lalu
ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
8.
Proses selanjutnya adalah sama seperti
”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang belulang diawali dengan
”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa Hyang”.
Ngelunggah
(Ngerapuh) :
Anak yang telah ”tanggal gigi”
diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan untuk anak/bayi
yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan ”mependem” saja, bila
dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah atau Ngerapuh”. Proses
Ngelunggah adalah :
v Piuning
ke Pura Dalem
v Piuning
ke Mrajapati
v Piuning
ke Sedahan Setra
v Piuning
di Bambang rare
v Banten
kepada roh bayi dan tirta pengerapuh.
Prosesnya: dengan banten yang sudah
tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan pemujaan agar roh sang bayi
disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang telah dimohon pada :
Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir bambang diratakan dan
semua banten dipendem.
Ngelanus
Bila Upacara Pitra
Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut
dengan”Ngelanus atau Numandang Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak
dilakukan karena lebih effisien dan lebih cepat, prosesnya adalah :
Setelah ”Nganyut”, seketika itu :
v mapegat
mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”,
ngalap don bingin, ngajum sekah.
v Setelah
Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan
kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke
Segara.
v Selanjutnya
Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah
waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada
sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.
Kajang
dan Berbagai Tirta
Semua bentuk Pitra
Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan kepatutan
masing-masing, juga tirta tunggangdari Bhatara Kawitan/leluhur, juga
ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu menggunakan Tirta Pingit
serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi Pitra Yadnya tersebut. Hal
yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta Panembak, Tirta pemanah,
Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta lainnya.
a. Tirta
panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna
membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir
batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama
dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta
panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
b. Tirta pangelukatan tirta
ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala
pataka- nya oleh tirta ini.
c. Tirta pamanah .
Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu
upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang
dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat
jenazah dimandikan.
d. Tirta pangentas .
Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam
upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau
untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentas merupakan
air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput ,bertujuan
memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna
dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra Yadnya yang
besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan
sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam
lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah
bayu atau energi yang muncul sebagai akibat
menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa
tirtapangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak
akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan
sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa
melakukan moksa angga . DalamYoga Kundalini dikemukakan, apabila
yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah
muncul api yang membakarstula –nya. Itu sebabnya,
tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra
Yadnya.
e. Tirta kakuluh ,
bermakna sebagai pemberian restu kepada orang yang di upacara Pitra Yadnya.
b. Nyekah
Nyekah disebut juga
Nyekar karena nama sang Pitra sudah diganti dengan nama bunga, misal
sandat,cempaka,jempiring,dan sbeagainya (untuk sawa wanita), sedangkan untuk
sawa pria memakai nama kayu yaitu cendana,majagau,ketewel,damulir,dan
sebagainya.Sering juga upacara ini dinamakan Ngeroras, yang berasal dari kata
Ro (dua) dan Ras (pisah), yang secara harfiah berarti pisah dua kali.Tujuan
upacara ini adalah menghilangkan Sukma Sarira atau Panca tan matra sebagai
langkah kedua mensucikan atma.Nyekah diawali dengan Ngulapin di Segara,kemudian
Ngajum Sekah,lalu Ngaskara Sekah,Narpana Sekah,Ngeseng Sekah, dan Nganyut
Sekah.Ngulapin di Segara bertujuan untuk mohon ijin Ida Bethara Baruna sebagai
penguasa laut untuk melanjutkan upacara Pitra Yadnya .Ngajum Sekah adalah
membuat simbol Panca Tan Matra yang disebut Puspa Lingga.Ngaskara Sekah adalah
mendak dan mensucikan Puspa Lingga.Narpana Sekah adalah menghaturkan sesajen
kepada atman yang sudah disucikan.Ngeseng sekah dilaksanakan dengan membakar
Puspa Lingga sebagai simbol menghilangkan Panca Tan Matra bertujuan agar atma
dapat dengan damai menuju khayangan, tidak lagi terikat dengan
keduniawian.Nganyut Sekah adalah kelanjutan dari membuang panca tan matra serta
mensucikan atma dengan air dari tujuh sungai yang ada di India (Sapta Gangga), yaitu
gangga, Yamuna, Serayu,kaweri,Sindu,Saraswati, dan Narmada.Ketujuh sungai suci
itu bermuara ke laut, sehingga laut dapat dipandang sebagai perwakilan ketujuh
sungai tersebut.Setelah Nyekah, ikatan atma sudah terbebas dari Panca maha
Butha dan panca tan matra, sehingga yang masih melekat dan ditanggung jawabkan
oleh atman ke hadapan Hyang Widhi adalah karma Wasana, yaitu baik buruknya
karma (Subha Asubha Karma) sewaktu masih hidup.Kondisi Karma Wasana inilah yang
menentukan baik buruknya kehidupan dimasa yang akan datang setelah berinkarnasi
(lahir kembali) ke dunia.
Upacara mapaingkup
disebut juga sebagai upacara Ngerajeg Linggih, karena mepaingkup artinya
menyatukan serta menstanakan, dalam hal ini menyatukan atma yang baru
diupacarai dengan atma-atma yang yang sudah lama diupacarai yang berstana di
Sanggah Pamerajan.Upacara ini terdiri dari dua bagian yaitu Masakapana Nilapati
dan Nawur danda Kalepasan.Masakapan Nilapati diawali dengan Ngulapin di Segara
sebagai permohonan ijin kepada Ida Bhatara Baruna, kemudian Nyegara Gunung yang
tujuannya mohon kesejahteraan kepada Hyang Widhi dan dilanjutkan di sangah
merajan untuk proses panunggalan dan penstanaan disaksikan oleh Catur Dewata
(Iswara,Brahma,Mahadewa,dan Wisnu).Bagian kedua upacara Mapaingkup adalah Nawur
Danda Kalepasan yang dilaksanakan dengan persembahyangan oleh preti sentana,
memohon kepada Hyang Widhi agar atma yang telah diupacarai mendapat tempat yang
baik serta dimaafkan segala kesalahannya ketika amsih hidup, termasukjanji-jani
sesangi atau saud-saud yang belum terbayar, agar dipulihkan serta tidak lagi
menjadi beban bagi preti sentana.Setelah mepangkur, status atma sudah menjadi
Bethara Dewa Hyang atau Bethara Raja Dewata.
Setelah upacara mapaingkup atau ngerajeg
linggih,dilaksanakan upacara maajar-ajar.Tujuannya adalah nagkilang Bhatara
Raja Dewata ke pura pura stana para Dewa (Hyang Widhi) agar mendapat restu
serta dikenal sebagai atma yang sudah disucikan.Kemiripan upacara ini seperti
pelaksanaan TirtaGamana bagi manusia yang masih hidup.Adapun pura-pura yang
wajib dikunjungi ketika meajar-ajar antara lain :
1.
Pura Khayangan Tiga setempat
2.
Kelompok pura di Lempuyang Stana Hyang
Giri Jaya
3.
Silayukti, stana Mpu Kuturan dan Mpu
Bharadah
4.
dasar Bhuwana Gelgel stana Mpu Ghana
5.
Pura kawitan
6.
Besakih, meliputi pura Dalem Puri,Manik
Mas,Pedharman masing-masing,Penataran Agung
Bilamana ada kesempatan, alangkah baiknya jika dilanjutkan ke pura
Uluwatu,Pulaki,Batur,Penulisan,RambutSiwi,dan sebagainya.Setelah
meajar-ajar,maka selesailah seluruh rangkaian upacara Pitra yadnya.
2.3.Doa Pitra Puja
DOA BERSAMA PADA SAAT MENGHADIRI ACARA
KEMATIAN
SURAT PHDI PUSAT NO:
0918/PARISADE/P-/X/2004
Om
svargantu Pitaro devah
Svargantu
pitara ganam
Svargantu
pitarah sarvaya
Namah
svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat
tempat di surga
Semoga semua atma yang suci mendapat
tempat di surga
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.
Om
moksantu Pitaro devah
Moksantu
pitara ganam
moksantu
pitarah sarvaya
Namah
svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mencapai
moksa
Semoga semua atma yang suci mencapai
moksa
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.
Om
sunyantu Pitaro devah
Sunyantu
pitara ganam
Sunyantu
pitarah sarvaya
Namah
svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat
ketenangan
Semoga semua atma yang suci mendapat
ketenangan
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.
Om
bagyantu Pitaro devah
Bagyantu
pitara ganam
Bagyantu
pitarah sarvaya
Namah
svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat
kebahagian sejati
Semoga semua atma yang suci mendapat
kebahagiaan sejati
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.
Om
ksamantu Pitaro devah
Ksamantu
pitara ganam
Ksamantu
pitarah sarvaya
Namah
svada
Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat
pengampunan
Semoga semua atma yang suci dibebaskan
segala dosanya
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Pitra yadnya adalah
suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang di tujukan
kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia. Pitra yadnya
juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan
layak kepada ayah-bunda dan kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang
ada di lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak (
sentana ) terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya di pandang
sangat penting, karena seorang anak ( sentana ) mempunyai hutang budi, bahkan
dapat di katakana berhutang jiwa kepada leluhurnya.
Tiga perinciannya (
yang disebut ) Bapa menurut tingkah lakunya, carirakrta, pranadata ( dan )
annadata; carirakrta artinya yang menjadikan tubuh, pranadata yaitu yang
memberi hidup ( dan ) annadata artinya yang memberi makan serta mengasuhnya.
Dengan memperhatikan jasa-jasa orang tua tersebut, maka seorang anak( sentana )
berkewajiban melaksanakan Pitra Yadnya di dalam hidupnya, yang berintikan rasa
bakti yang tulus ikhlas demi untuk pengabdian kepada orang tua dan leluhur.
Upacara Pitra Yadnya bertujuan untuk meningkatkan kedudukan Pitara atau roh-roh
leluhur yang telah meninggal sesuai dengan tingkatan yadnya yang di
selenggarakan. Jadi menurut agama Hindu, bahwa orang yang masih hidup dapat
juga turut berusaha mengangkat kedudukan Pitara, dari tingkat rendah menuju
tingkat yang lebih tinggi. Ada beberapa upacara aygn termasuk pelaksanaan
Upacara Pitra Yadnya, yaitu Upacara Penguburan Mayat, Upacara Ngaben dan
Nyekah.
3.2.Saran
Kita sebagai makhluk
yang diciptakan oleh Brahman (Hyang Widhi) harus selalu mengamalkan ajaran
agama dalam kehidupan sehari-hari terutama perbuatan yang ditujukan kepada
orang tua haruslah sesuai dengan sesana kita sebagai anak sehingga kita dapat
mencapai kebahagiaan yang sejati.
Apabila kita memiliki
orang tua yang sudah meninggal tetapi belum di aben maka kita sebagai anak
harus melaksanakan hal tersebut, karena itu merupakan kewajiban kita sebagai
anak.
DAFTAR
PUSTAKA